RESUME BUKU
MENGAPA RASULULLAH BERPOLIGAMI
Tugas mata kuliah pendidikan agama islam
Dosen pengampu : Drs. Daryono, MSI

Disusun oleh :
NAMA : AGUS YUSANTO
NIM : G.131.09.0024
PROGDI SISTEM INFORMASI
FAKULTAS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS SEMARANG
2010
1. Jelaskan poligami merupakan tatanan sosial bangsa Arab sejak sebelum masa
kehidupan Nabi Muhammad?
Poligami merupakan tatanan sosial bangsa Arab sejak sebelum masa kehidupan Nabi Muhammad. Ini bisa kita tinjau ketika bangsa Arab di masa jahiliahnya telah melakukan poligami ini, dimana praktek ini demikian memasyarakat di kalangan mereka. Kebiasaan ini dilakukan oleh mereka yang memiliki kemampuan, atau mereka yang dituntut oleh situasi dan kondisi untuk melakukannya, maupun oleh mereka yang menganggap bahwa dibalik perbuatan itu akan mendatangkan kebaikan.
Sebagai ilustrasi bagi kita cukup untuk mengetahui bahwasannya Mundzir bin Harits Abu Jabalah Al Ghassani, yaitu salah seorang betrik serta tokoh gereja timur telah mengawini wanita dalam jumlah yang sangat banyak. Demikian pula halnya dengan An-Nu’man Raja di Hirah, telah mengawini sejumlah wanita hingga setelah ia memeluk agama Nashrani. Dan seakan-akan pihak gereja tidak mempersoalkan hal tersebut selama mereka tidak menikahi wanita yang diresmikan oleh gereja melainkan hanya seorang saja.
Oleh sebab itu, di saat fajar Islam menyingsing, pada bani Tsaqif misalnya, terdapat sejumlah laki-laki yang memiliki isteri sepuluh orang wanita, di antara mereka ada yang masuk Islam seperti Ghailan bin Salamah, Sufyan bin Abdullah serta Mas’ud bin Amir. Lalu merekapun merelakan untuk menceraikan enam orang diantara isteri-isteri mereka kemudian menceraikan yang lainnya.
Bila kita menengok lebih jauh, kita dapati bahwa Abdul Muthalib bin Hasyim mempunyai enam orang isteri. Abu Sufyan mempunyai enam orang isteri pula dan Shafwan bin Umayyah memiliki isteri yang sama dengan jumlah tersebut. Sedangkan Mughirah bin Syu’bah menikahi tujuh puluh, atau delapan puluh sembilan, atau sembilan puluh tiga orang wanita.
Berdasarkan fakta inilah, bisa kita simpulkan bahwa poligami sudah menjadi tatanan sosial bangsa Arab sejak sebelum masa kehidupan Nabi Muhammad.
2. Kemukakan masing-masing 4 contoh akhlak Nabi Muhammad yang dapat
memberikan pengertiaan bahwa :
· Nabi Muhammad dalam bertingkah laku bukan orang yang suka menuruti hawa
nafsunya semata?
- Tidak pernah terdetik dalam hati Beliau suatu keinginan untuk melakukan perbuatam keji atau perzinaan hingga diriwayatkan bahwasanya beliau tidak pernah menyentuh tangan wanita kecuali jika wanita tersebut adalah isterinya atau mahramnya maupun wanita budak beliannya.
Inilah beliau mengisahkan tentang masa mudanya secara terus terang dan lugas. Beliau bersabda, "Tidak pernah terdetik di dalam hatiku untuk melakukan seperti apa yang dilakukan oleh kaum jahiliyah kecuali dua kali. Dan pada setiap kali itu pula Allah menghalangiku dan apa yang aku inginkan. Kemudian tidak pernah terbesit dalam hatiku untuk melakukan suatu kejahatan hingga Allah memuliakanku dengan memilihku untuk mengemban risalah-Nya. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah berkata pada seorang pemuda Quraisy yang biasa menggembala denganku di pinggiran kota Makkah, "Maukah anda mengawasi kambing-kambing gembalaanku, agar aku dapat masuk ke dalam kota untuk begadang sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para pemuda pada umumnya?" Sahabatku berkata, "Baiklah, aku akan melakukannya untukmu."
Akupun berangkat dari tempatku dengan tujuan melakukan hal tersebut, hingga akhirnya aku sampai ke rumah pertama di kota Makkah, saat itu aku mendengar suara rebana yang ditabuh serta suara seruling. Maka Aku bertanya, "Ada apakah ini?" Orang-orang mengatakan kepadaku, "Ini adalah pesta pernikahan fulan bin fulan dengan fulanah binti fulan."
Aku duduk untuk menyaksikan mereka; namun Allah menutupi telingaku sehingga aku tertidur. Dan tidak ada yang membangunkanku kecuali cahaya matahari.
Di pagi hari aku menemui sahabatku, dan beliau bertanya, "Apakah yang telah anda lakukan?" Aku menjawab, "Aku tidak melakukan suatu apapun." Kemudian aku menceritakan kepadanya kejadian tersebut.
Pada malam yang lain aku mengatakan hal yang serupa kepada sahabatku itu, dan iapun berkata, "Baiklah, aku akan melakukannya untukmu." Lalu aku berangkat; dan baru saja aku memasuki kota, aku mendengar suara seperti yang kudengar pada kali yang pertama aku melakukan hal seperti itu. Maka akupun turut bergabung dengan mereka, namun Allah menutupi telingaku. Sungguh demi Allah, tidak ada yang membangunkanku selain sentuhan cahaya matahari.
Aku pulang menemui sahabatku dan kuceritakan padanya kejadian yang aku alami. Setelah itu, tidak pernah lagi terdetik di dalam hatiku suatu keinginan untuk melakukan kejahatan hingga akhirnya Allah memuliakanku dengan mengutusku untuk mengemban risalah-Nya."
- Beliau tidak pernah tergiur sedikitpun dengan harta yang sangat banyak dan melimpah, baik berupa harta rampasan yang diperoleh melalui peperangan ataupun karena penyerahan diri oleh musuh, upeti, sedekah maupun hadiah-hadiah. Bahkan beliau tidak mengambil bagian dari harta tersebut melebihi bagian yang telah ditetapkan oleh Allah untuknya yaitu seperlima dari harta rampasan perang. Kemudian beliau tidak pernah mengambil satu dirham pun dari bagian yang seperlima itu, akan tetapi semuanya dibelanjakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; dan untuk menguatkan kedudukan kaum muslimin serta mencukupi kebutuhan orang lain.
Beliau pernah bersabda, "Bukanlah hal yang menggembirakan bagiku jika aku memiliki emas sebesar gunung uhud lalu bermalam padaku satu dirham dari harta tersebut kecuali satu dinar yang aku persiapkan untuk agamaku."
Suatu ketika datanglah kepada beliau sejumlah uang dinar, maka beliau langsung membagi-bagikannya. Hingga tersisa padanya enam dinar saja. Lalu keenam dinar itu beliau berikan kepada sebagian isteri-isterinya. Dan beliau tidak dapat memejamkan matanya hingga urusan pembagian harta tersebut menjadi beres. Kemudian beliau bersabda, "Sekarang aku baru bisa merasa lega."
Beliau merasa cukup dalam memenuhi kebutuhan hidupnya; baik nafkah sehari-hari, pakaian maupun tempat tinggal, semuanya sebatas pemenuhan yang sangat prinsip dan ala kadarnya. Disertai sikap menahan diri dari selain kebutuhan pokok tersebut.
Pada saat Rasulullah menghembuskan nafasnya yang terakhir, tak ada harta yang diwariskannya, selain keledainya, senjata serta tanah yang telah beliau tetapkan sebagai sedekah.
- beliau tidak pernah memakan dua jenis makanan sekaligus, jika beliau memakan daging, maka beliau mencukupkan dengan daging itu saja, dan jika beliau memakan kurma, maka beliau mencukupkan dengan kurma itu pula. Jika beliau menemukan roti maka itu telah mencukupinya, dan jika beliau menemukan susu tanpa roti juga beliau tidak butuh lagi pada selainnya.
Beliau memakan apa yang telah disediakan, tidak menolak apa yang ada serta tidak pernah makan sambil bertelekan..
Sayyidah Aisyah mengisahkan tentang kehidupan Rasulullah dengan perkataannya, "Sesungguhnya perut Rasulullah tidak pernah merasa penuh karena kekenyangan, dan beliau tidak pernah meminta pada isterinya makanan dan tidak pula mengharapkannya. Jika beliau diberi makan maka dimakannya, dan jika beliau diberi minum maka diminumnya."
- demikian pula nainya dengan pakaian, tempat tidur serta perabot rumah tangganya. Sebagai gambaran akan hal tersebut, bahwasanya beliau biasa memakai pakaian yang mudah didapatkan, kadang beliau memakai pakaian wol, kadang memakai pakaian yang terbuat daripada katun, kadang memakai pakaian yang terbuat daripada kapas. Beliau pernah pula memakai pakaian buatan Yaman, memakai jubah, man tel, garrus, celana panjang, sarung, selendang, sepatu dan sandal.
Namun beliau tidak pernah memakai pakaian dari jenis sutera, serta melarang. seseorang untuk minum pada wadah (gelas dan yang sepertinya) yang terbuat dari emas atau perak. Serta melarang pula bagi seseorang untuk memakai pakaian yang terbuat daripada sutera ataupun duduk di atasnya.
Kadangkala beliau tidur dengan menggunakan kasur, kadang dengan beralaskan kulit, kadang dengan mengguna kan tikar dan kadang pula mengunakan dipan. Adapun kasur beliau terbuat daripada kulit dan isinya adalah potongan-potongan tali, dan demikian pula dengan bantal yang beliau pergunakan.
Akan tetapi dalam kesederhanaannya ini, beliau merupakan contoh tauladan yang terbaik dari segi kebersihan.
· Poligami Nabi Muhammad bukan atas dasar hawa nafsu semata?
- Pernikahan Nabi bertujuan untuk memuliakan dan memberi penghormatan / memberi penghargaan bagi seorang wanita yang telah lanjut usia sehingga tidak lagi menarik hati laki-laki dan karena jasa/perjuangannya tehadap Islam. Sebagai contoh :
o Pernikahan Nabi dengan Sayyidah Saudah.
Pernikahan ini bertujuan untuk melindungi Sayyidah Saudah dari gangguan dan penyiksaan kaumnya yang terkenal kasar dan bengis. Disamping itu merupakan penghormatan atas sikapnya yang terdepan dalam memeluk agama Islam, perbuatannya yang rela berpisah dengan keluarga dan tanah tumpah darahnya demi untuk menyelamatkan agama yang dianutnya. Demikian pula sebagai penghargaan atas kesabarannya dalam berkomitmen dengan aqidah yang diyakininya.
Pernikahan ini pula merupakan upaya meringankan beban kerinduannya terhadap suaminya yang kini telah tiada. Dan juga ia merupakan salah satu siasat halus untuk melunakkan hati kaumnya serta membujuk hati mereka agar mau menerima agama ini. Sebab dengan pernikahan tersebut, mereka secara langsung telah menjadi kerabat Rasulullah melalui jalur penikahan.
Jika demikian keadaannya, sungguh penikahan ini memiliki tujuan yang mulia sebagai suatu penghargaan dan penghormatan terhadap seorang wanita serta demi kemaslahatan bagi Islam. Sama sekali bukan suatu pernikahan yang hanya bertujuan untuk memuaskan nafsu serta memperbanyak isteri belaka.
o Pernikahan Nabi dengan Ummu Salamah.
Rasulullah mengambil inisiatif untuk memberikan perlindungan dan pemeliharaan langsung kepada Ummu Salamah. Hal ini sebagai balasan atas jasa dan pengorbanan yang telah disumbangkannya beserta suaminya untuk agama Islam. Sebagaimana di zaman modern ini memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap isteri dan keluarga pahlawan-pahlawannya dengan berbagai macam cara, baik berupa penghargaan maupun perlakuan khusus serta keistemewaan-keistemewaan tertentu.
o Pernikahan Nabi dengan Zainab binti Khuzaimah.
Rasulullah tidaklah menikahi Zainab binti Jahzy melainkan hanya untuk memberikan kemaslahatan dan ketentraman baginya serta karena dorongan rasa sayang terhadap anak-anaknya. Dan juga sebagai balasan atas meninggalnya sang suami di medan jihad.
- Pernikahan Nabi dilakukan demi untuk menambah keakraban orang yang sangat dekat dihatinya, kadang pula demi untuk menambah kecintaan mereka yang sangat dicintainya. Sebagai Contoh :
o Pernikahan Nabi dengan Aisyah binti Abu Bakar.
Pernikahan Rasulullah dengan sayyidah Aisyah merupakan respon bagi suatu persahabatan, pemenuhan kebutuhan bagi sebuah rumah yang agung. Dalam pernikahan itu sendiri terdapat kebaikan yang sangat banyak bagi Islam dan kaum muslimin baik yang laki-laki maupun perempuan.
o Pernikahan Nabi dengan Hafshah.
pernikahan ini bernuansa persahabatan, merupakan tuntutan keadaan, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga kemurnian hubungan persahabatan antara orang-orang dekat beliau, yakni orang-orang yang senantiasa memberi dukungan dan bantuan kepadanya dalam mengembangkan dakwah Islam serta melindunginya dari gangguan musuh-musuh dakwah. Pernikahan ini bertujuan untuk memuliakan Umar bin Khaththab sebagaimana halnya pernikahan dengan Aisyah demi untuk memuliakan Abu Bakar As-Shiddiq.
o Pernikahan Nabi dengan Maimunah Binti Al Harits Bin Hazn Al Hilaliyah.
Bukan merupakan kebiasaan Nabi, sebagai figur yang memiliki jiwa mulia lagi dermawan untuk menolak keinginan dua orang kesayangannya, yaitu pamannya Abbas bin Abdul Muthalib dengan saudara sepupunya Ja’far bin Abu Thalib. Juga bukanlah tipe Nabi untuk mengecewakan seorang wanita yang telah menghibahkan dirinya untuk Nabi.
- Pernikahan Nabi bertujuan untuk memperbanyak kaum kerabat dari jalur pernikahan agar mereka menjadi pembela-pembelanya, serta pendukung-pendukung yang handal terhadap agama Allah. Sebagai contoh :
o Penikahan Nabi dengan Juwairiyah binti Al Harits Bin Abu Dhirar Al Khuza’iyah.
pernikahan Rasulullah dengan Juwairiyah membawa kebaikan bagi Islam serta menambah kekuatan kaum muslimin dan memperbanyak personil pasukan pembela dakwah.
o Pernikahan Nabi dengan Ummu Habibah Binti Sufyan Bin Harb.
Tak ada jasa terbaik yang dapat dianugerahkan oleh Rasulullah untuk menghargai perjuangannya serta menjaga kehormatannya selain menikahinya, dimana saat itu beliau masih berada di Habasyah yakni sekitar tahun keenam atau ketujuh hijriyah. Hal itu adalah untuk menyelamatkannya dari kesulitan dalam keterasingan, kesendirian dan kemiskinan. Semoga dengan perkawinan itu pula dapat membujuk dan melunakkan hati bapaknya yang saat itu merupakan salah seorang tokoh syirik serta musuh Islam yang paling keras.
- Pernikahan Nabi bertujuan mempraktekkan secara langsung syariat islam untuk merombak perbuatan salah yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Sebagai Contoh :
o Pernikahan Nabi dengan Zainab Binti Jahsy Bin Ri’ab.
pernikahan ini bertujuan menetapkan syari’at Ilahi yang kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat bangsa arab, yakni pengharaman bagi seseorang untuk menikahi wanita mantan isteri anak angkatnya sendiri, yang mana sama keharamannya dengan menikahi mantan isteri anak kandung.
Pernikahan Nabi dengan Zainab adalah keteladanan yang dipraktekkan secara langsung untuk menghalalkan apa yang telah mereka haramkan atas diri-diri mereka, yang pada hakikatnya persoalan tersebut tidaklah haram.
Sementara itu tidak ditemukan adanya figure selain Nabi yang perbuatannya dapat dijadikan landasan untuk merombak dan menghapus suatu kebiasaan yang sangat memasyarakat seperti itu. Karena telah mendarah daging dalam I’tikad mereka sejak turun menurun, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita mantan isteri anak angkatnya, sebagaimana halnya seseorang haram untuk menikahi mantan isteri anak kandungnya.
Keyakinan seperti ini telah dipraktekkan sejak zaman nenek moyang mereka. Sehingga menjadi suatu kemestian jika untuk merombak dan menghapuskannya butuh pada praktek langsung, dimana praktek ini mampu mencapai tingkat kekuatan dan kemasyuran sehingga dapat member jaminan mengalahkan keyakinan sebelumnya yang telah mengakar. Sekaligus dengan praktek langsung seperti ini akan mampu membuka lebar-lebar mata dan hati manusia terhadap ketetapan hukum yang baru tersebut.
Telah menjadi suatu kemestian bahwa Al Qur’an akan turun membatalkan keyakinan bangsa arab, sekaligus membebani Nabi untuk bertindak langsung dalam mempraktekkan hokum baru yang akan menghapus keyakinan lama dan telah menjadi adat kebiasaan.
o Pernikahan Nabi dengan Mariyah Al Qibthiyah.
Pernikahan ini juga praktek nyata terhadap hukum yang membolehkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita ahli kitab (wanita yang menganut agama Yahudi atau Nashrani). Dan dalam semua ini terdapat manfaat bagi Islam dan kaum muslimin
3. Jelaskan 12 Istri Nabi dengan alasan latar belakang pernikahannya masing-
masing?
1. Sayyidah Khadijah Binti Khuwailid.
Sayyidah Khadijah adalah seorang wanita yang memiliki garis keturunan yang terhormat serta kekayaan yang melimpah. Beliau sebelumnya telah dua kali menikah dengan dua orang laki-laki dari bani Makhzum, kemudian ia dipinang oleh sebagian besar para pembesar Quraisy, namun semua lamaran itu ditolaknya, karena ia berkeyakinan bahwa para pembesar Quraisy yang melamarnya itu hanyalah menginginkan harta kekayaannya saja.
Lalu apakah yang menjadi penghalang jika ia tertarik dan mengagumi kejujuran dan kebaikan perjalanan hidup Muhammad?
Khadijah mengutus saudara perempuannya atau seorang teman dekatnya untuk menemui Muhammad, lalu utusan tersebut berkata, “Apakah yang menjadi kendala anda untuk menikah?.” Muhammad menjawab, “Aku tdak memilki harta yang cukup untuk membiayai suatu pernikahan.” Utusan itu berkata, “Jika ada orang yang menanggung hal itu, lalu mengajak anda untuk menikahi seseorang yang berparas cantik dan menarik serta memiliki kekayaan di samping keturunan yang terhormat, maka apakah anda mau menrima tawarannya?” Muhammad berkata, “ Akan tetapi siapakah orang itu?” Utusan tersebut menjawab, “ Dia adalah Khadijah binti Khuwailid.” Muhammad berkata, “ Bagaimana yang demikian itu terjadi padaku?” Utusan tersebut menjawab, “ Serahkanlah persoalannya kepadaku.”
Saat itu pula Rasulullah menyatakan dengan tegas akan pesetujuannya dengan tawaran tersebut, sementra beliau mengetahui bahwa Khadijah memiliki usia di atas usianya sekitar lima belas tahun atau lebih. Beliau mengetahui pula jika sebelum itu Khadijah telah dua kali menikah.
Kemudian sempurnalah pernikahan Rasulullah dengan Khadijah, dan seketika lenyaplah perbedaan usia diantara keduanya, melebur dalam kebahagiaan, kejujuran, kehidupan rumah tangga yang rukun serta dengan kegembiraan akan kehadiran anak-anak. Dimana Khadijah Radhiallahu Anha bersama Rasulullah telah melahirkan; Qasim, Abdullah (keduanya yang digelari dengan At-Tharir dan At-Thayyib) Zainab, Ummu Kaltsum, Fathimah serta Ruqayyah.
2. Saudah binti Zam’ah bin Qais bin Abdu Syam.
Beliau tergolong wanita yang terdahulu memeluk agama islam, dia telah menerima Islam bersama suaminya yang juga merupakan saudara sepupunya, yaitu As-Sukran bin Amr bin Abdu Syams. Keislamannya itu telah menyebabkan ia dikucilkan oleh saudara-saudara sepupunya serta kaum kerabatnya. Kemudian ia bersama suaminya turut serta dalam rombongan yang hijrah ke Habasyah (Ethiopia) pada kali yang kedua, dalam rangka menghindarkan diri dari gangguan kaum mesyikin. Dan pada saat beliau kembali ke Makkah, sang suami akhirnya meninggal dunia.
Sayyidah Saudah adalah seorang wanita tua, gembrot dan lamban bergerak. Dia tidak dapat menemukan seorang laki-lakipun yang mau menjadi suaminya serta menerima keadaannya. Dan beliau juga merupakan wanita yang cukup tahu diri, oleh karena itu dia tidak bersedia untuk menikah dengan laki-laki yang tidak setaraf dengan kondisinya serta tidak setingkat dengannya.
Dan beliau Radhiyallahu Anha tidak mampu pula untuk kembali ke kalangan keluarganya yang tidak setuju dengan tindakannya yang masuk agama Islam, karena ia merasa khawatir akan diganggu dan disakiti oleh mereka.
Lalu apakah yang dilakukan oleh Rasulullah?
Beliau telah memuliakan wanita ini dengan cara menikahinya, dan pernikahan itu sendiri berlangsung dua tahun sebelum Rasulullah hijrah ke kota Madinah. Akan tetapi beliau tidak langsung berkumpul bersamanya melainkan setelah berada di kota Madinah, atau tepatnya setelah tiga tahun dari wafatnya Khadijah.
Pernikahan ini bertujuan untuk melindungi Sayyidah Saudah dari gangguan dan penyiksaan kaumnya yang terkenal kasar dan bengis. Disamping itu merupakan penghormatan atas sikapnya yang terdepan dalam memeluk agama Islam, perbuatannya yang rela berpisah dengan keluarga dan tanah tumpah darahnya demi untuk menyelamatkan agama yang dianutnya. Demikian pula sebagai penghargaan atas kesabarannya dalam berkomitmen dengan aqidah yang diyakininya.
Pernikahan ini pula merupakan upaya meringankan beban kerinduannya terhadap suaminya yang kini telah tiada. Dan juga ia merupakan salah satu siasat halus untuk melunakkan hati kaumnya serta membujuk hati mereka agar mau menerima agama ini. Sebab dengan pernikahan tersebut, mereka secara langsung telah menjadi kerabat Rasulullah melalui jalur penikahan.
3. Aisyah binti Abu Bakar.
Dia adalah puteri salah seorang sahabat Rasulullah yang pertama, puteri kekasih Rasulullah yang selalu diberi perlakuan khusus serta menjadi orang yang terdekatnya. Temannya saat melakukan hijrah dari Makkah ke Madinah, kawan dalam berjihad serta sahabat yang senantiasa mendermakan jiwa raga dan hartanya demi untuk membela agama Islam serta melindungi dan memberi dukungan kepada Rasulullah. Sehingga pada akhirnya sahabat ini mendapat kehormatan sebagai orang yang paling dekat dengan Rasulullah, dan mendapat kedudukan yang layaknya bagaikan perdana menteri yang pertama bagi beliau.
Apakah perbuatan Rasulullah untuk memuliakan sahabat yang paling disayanginya ini selain dengan lebih menambah kedekatan hubungan yang telah ada serta lebih menambah lagi kemuliaan yang selama ini telah didapatkannya?
Maka tidak ada jalan bagi Beliau untuk merealisasikan hal tersebut kecuali dengan menikahi puteri sahabatnya itu, yaitu sayyidah Aisyah Radhiyallahu Anha.
Rasulullah menikahi Aisyah pada saat kondisi beliau sangat membutuhkan seorang pendamping sepeninggal isterinya yang pertama Khadijah. Sebab isteri beliau yang kedua yakni sayyidah Saudah (seperti dijelaskan terdahulu) lebih mirip dengan isteri simbolis daripada isteri dalam artian yang sebenarnya. Karena perkawinan Rasulullah dengannya hanyalah untuk memuliakannya dan melunakkan hati kaumnya serta membujuk mereka untuk menerima dakwah Islam.
Pernikahan Rasulullah dengan sayyidah Aisyah merupakan respon bagi suatu persahabatan, pemenuhan kebutuhan bagi sebuah rumah yang agung. Dalam pernikahan itu sendiri terdapat kebaikan yang sangat banyak bagi Islam dan kaum muslimin baik yang laki-laki maupun perempuan.
4. Hafshah
Dia adalah puteri pembantu utama Rasulullah yang lain, seoarang pendukung dan pembela beliau, memiliki kedudukan yang sama sebagaimana layaknya perdana menteri yang kedua bagi Rasulullah.
Suami Hafshah yang pertama yakni Khunais bin Hudzafah As-Sahmi telah meninggal dunia akibat luka parah yang di deritanya saat perang Badar. Lalu Umar bin Khaththab sebagai bapak dari Hafshah menawarkan puterinya itu kepada Abu Bakar As-Shiddiq dengan harapan semoga abu bakar bersedia untuk menikahi Hafshah. Namun Abu Bakar tak memberi jawaban apa-apa sehingga Umar merasa kesal karenanya.
Kemudian Umar bin Khaththab menawarkan puterinya kepada Utsman bin Affan, yang kebetulan pada saat itu isteri Usman yakni Ruqayyah binti Rasulullah telah meninggal dunia. Akan tetapi Utsman menolak tawaran Umar dengan perkataannya, “Aku belum berfikir untuk menikah lagi pada saat-saat sekarang ini. “ Sebab Utsman bermaksud untuk menikah dengan Ummu Kaltsum puteri Rasulullah.
Penolakan kedua sahabatnya (Abu Bakar dan Utsman) terasa begitu menyakitkan bagi Umar bin Khaththab. Lalu tindakkan apakah yang dilakukan Umar bin Khaththab?
Beliau pergi menemui Rasulullah sebagai pelindung dan penasehat bagi mereka semua, lalu Umar bin Khathtab mengadukan sikap kedua sahabatnya yang menolak tawarannya itu kepada Rasulullah. Di sini Rasulullah memahami betapa sakitnya perasaan yang dialami Umar bin Khaththab akibat penolakan Abu Bakar dan Utsman untuk menikahi peterinya. Maka Rasulullah hendak memberikan kepada Umar yang terbaik daripada yang ia harapkan. Pada saat itu Rasulullah bersabda kepada Umar, “ Hafshah akan dinikahi oleh orang yang lebih baik daripada Utsman, dan Utsman akan menikahi pula wanita yang lebih baik daripada Hafshah.”
Tak lama kemudian Rasulullah melamar Hafshah kepada Umar bin Khaththab dan belangsunglah pernikahan itu pada tahun ketiga dari hijrahnya Nabi ke kota Madinah. Demikian pula Utsman bin Affan menikah dengan Ummu Kaltsum salah seorang puteri Rasulullah.
Dengan demikian pernikahan ini bernuansa persahabatan, merupakan tuntutan keadaan, serta upaya yang sungguh-sungguh untuk menjaga kemurnian hubungan persahabatan antara orang-orang dekat beliau, yakni orang-orang yang senantiasa memberi dukungan dan bantuan kepadanya dalam mengembangkan dakwah Islam serta melindunginya dari gangguan musuh-musuh dakwah. Pernikahan ini bertujuan untuk memuliakan Umar bin Khaththab sebagaimana halnya pernikahan dengan Aisyah demi untuk memuliakan Abu Bakar As-Shiddiq.
Siapakah yang dapat menghalangi seorang pemimpin yang besar serta panglima tertinggi untuk berusaha sungguh-sungguh dalam rangka menciptakan hubungan harmonis antara pengikut-pengikut serta para pendukungnya yang ikhlas dan setia, dan menyamakan kedudukandiantara mereka dalam kemuliaan serta kedekatan dengannya?
Tak ada alasan yang lebih kuat untuk membuktikan bahwa pernikahan Rasulullah dengan hafshah adalah untuk memuliakan Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhu, melainkan apa yang diriwayatkan bahwasannya pada saat sampai kepada Umar isu yang menyatakan Hafshah telah diceraikan oleh Rasulullah, maka pada saat itu Umar bin Khaththab menaburkan tanah ke atas kepalanya seraya berkata,”Allah subhaanahu Wata’ala tidak akan memperdulikan lagi Umar beserta putrinya setelah kejadian itu.”
Lalu Umar bin Khaththab tidak merasakan ketenangan hingga akhirnya ia memperoleh yang meyakinkan bahwa Rasulullah belum menceraikan Hafshah binti Umar.
Pernikahan ini pula merupakan kemuliaan bagi Hafshah sendiri, serta untuk menggantikan kedudukan suaminya yang telah gugur dimedan perang Badar. Dan ini adalah upaya penyantunan yang sangat menyentuh.
5. Ummu Salamah
Nama lengkapnya Ummu Salamah Hindun Binti Abu Umayyah Hudzaifah Bin Al Mughirah Al Makhzumy. Rasulullah menikahinya pada tahun kedua setelah perang Badar. Adapun suaminya sebelum itu adalah Abu Salamah Abdullah bin Abdul Asad bin Makhzum.
Mengapa Rasulullah menikahinya?
Wanita yang satu ini termasuk salah seorang wanita yang terdahulu masuk Islam, beliau bersama suaminya yang pertama termasuk dalam rombongan yang hijrah ke negeri Habasyah (Ethiopia). Setelah pasangan suami isteri ini kembali dari habasyah, keduanya ikut pula ke Madinah. Lalu sang suami yang di kenal sebagai prajurit yang gagah perkasa dan pemberani turut serta ambil bagian dalam perang Badar, kemudian beliau kembali terjun dalam medan Uhud, dimana ia menderita luka parah yang pada akhirnya membawa kepada kematiannya.
Di sisi lain, sesungguhnya antara Nabi dan Abu Salamah (Suami Ummu Salamah) terdapat hubungan kekerabatan yang sangat erat, sebab Abu Salamah adalah putera dari pada Barrah binti Abdul Muthalib, yakni bibi Rasulullah. Di samping itu, Abu Salamah adalah saudara sesusuan beliau.
Adapun Ummu Salamah, usianya mulai tua. Beliau juga memiliki anak-anak yang banyak. Oleh sebab itu ketika ia dilamar oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab setelah kematian suaminya, beliau menolak lamaran itu dengan alasan usianya yang telah tua serta anak-anaknya yang sangat banyak ditambah lagi dengan sifat kecemburuannya yang sangat tinggi.
Maka Rasulullah mengambil inisiatif untuk memberikan perlindungan dan pemeliharaan langsung kepada Ummu Salamah. Hal ini sebagai balasan atas jasa dan pengorbanan yang telah disumbangkannya beserta suaminya untuk agama Islam. Sebagaimana di zaman modern ini memberikan perlindungan dan pemeliharaan terhadap isteri dan keluarga pahlawan-pahlawannya dengan berbagai macam cara, baik berupa penghargaan maupun perlakuan khusus serta keistemewaan-keistemewaan tertentu.
Beliau juga memandang perlu untuk menyantuninya serta menanggung beban pemeliharaan terhadap anak-anknya, karena beliau menyaksikan sendiri betapa kesedihan yang dialaminya karena kematian sang suami.
Tak lama kemudian, Rasulullah menikahi Ummu Salamah, dan Ummu salamah menyadari sepenuhnya bahwa beliau lebih baik daripada Abu Salamah. Maka kini Nabi telah menanggung langsung beban hidupnya beserta beban pemeliharaan anak-anaknya.
6. Zainab binti Khuzaimah
Zainab binti Khuzaimah berasal dari bani Amir bin Sha’sha’ah.
Dialah yang pada masa jahiliah dijuluki dengan Ummul Masaakiin (ibu orang-orang yang miskin). Beliau pada mulanya adalah istri Thufail bin Harists bin Muthalib, salah seorang pahlawan yang gugur sebagai syuhada dalam perang Uhud. Dan dalam versi yang lain dikatakan bahwa beliau adalah isteri Abdullah bin Jahsy, juga merupakan salah seorang syuhada di medan perang Uhud.
Zainab binti Khuzaimah bukanlah seorang wanita yang berparas cantik serta menarik, sementara umurnya telah melewati usia seorang pemudi.
Lalu mengapa pula Rasulullah bersedia untuk menikahinya?
Sesungguhnya Rasulullah tidaklah menikahi Zainab binti Jahzy melainkan hanya untuk memberikan kemaslahatan dan ketentraman baginya serta karena dorongan rasa sayang terhadap anak-anaknya. Dan juga sebagai balasan atas meninggalnya sang suami di medan jihad.
Pernikahan yang mulia ini berlangsung di tahun ketiga hijriah, namun kehidupan rumah tangga Zainab bersama Rasulullah tidaklah berlangsung lama, sebab hanya berselang dua atau tiga bulan setelah pernikahannya, Zainab akhirnya mendahului Rasulullah kembali kehadirat Ilahi.
7. Juwairiyah binti Al Harits bin Abu Dhirar Al Khuza’iyah
Bapaknya (Al Harits bin Abu Dhirar Al Khuza’iyah) adalah pemimpin bani Mushthaliq. Al Harits inilah yang pernah mengumpulkan pasukan yang sangat besar untuk memerangi Rasulullah. Ketika kedua pasukan bertemu di medan perang Al Mariisii’ atau pada peperangan bani Mushthaliq tahun kelima hijrah, maka Rasulullah memulai dengan menawarkan Islam kepada mereka, namun mereka menolak tawaran tersebut hingga akhirnya peperangan antara mereka dengan Rasulullah tidak dapat dihindarkan lagi. Dan peperangan tersebut berakhir dengan kemenangan di pihak Rasulullah.
Saat itulah Juwairiyah binti Al Harits (yang dahulunya bernama Barrah, isteri Musafih bin Shafwan Al Mushthaliqy) tertawan bersama tawanan perang yang lain. Dan pada saat pembagian tawanan perang selesai, maka Juwairiyah menjadi bagian Tsabit bin Qais. Kemudian Tsabit bin Qais membuat perjanjian dengannya untuk memerdekakannya dengan syarat ia harus melunasi harga dirinya sendiri.
Tak ada yang diharapkan oleh juwairiyah untuk membantunya melunasi harga dirinya itu selain Rasulullah. Maka beliaupun datang menemui Rasulullah, seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah puteri Al Harits bin Abu Dhirar sang pemimpin di tengah kaumnya. Dan kini aku sedang menghadapi suatu problema yang anda sendiri telah mengetahuinya. Aku menjadi budak milik Tsabit bin Qais, lalu aku membuat perjanjian dengannya untuk membayar harga bagi diriku agar beliau memerdekakanku. Oleh sebab itu aku datang menemui anda untuk meminta bantuan.”
Rasulullah bersabda kepadanya, “Maukah anda menerima sesuatu yang lebih baik dari pada apa yang anda harapkan?” Juwairiyah balik bertanya.” Apakah itu wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “ Aku melunasi harga dirimu, setela itu aku akan menikahimu,” Maka Juwairiyah berkata, “Aku setuju.” Dan Nabipun bersabda,” Aku telah melakukan hal tersebut.”
Berita kejadian tersebut dengan segera menyebar di kalangan kaum muslimin, dan mereka kini telah mengetahui bahwa Rasulullah menikah dengan Juwairiyah. Maka sebagian di antara kaum muslimin berkata pada sebagian yang lain, “ Sekarang mereka bani Mushthaliq) telah menjadi kerabat Rasulullah. Oleh sebab itu tidaklah pantas jika mereka berada di bawah kekuasaan kita sebagai budak-budak tawanan.” Akhirnya kaum muslimin dengan suka rela bersedia memerdekakan budak-budak mereka yang berasal dari Bani Mushthaliq.
Atas dasar inilah sehingga Sayyidah Aisyah pernah berkata, “Kami tidak pernah mengetahui seorang wanita yang paling banyak memberi berkah terhadap kaumnya daripada Juwairiyah binti Al Harits.
Hanya beberapa waktu kemudian, bani Mushthaliq bersedia untuk menerima dan memeluk agama Islam, serta berdiri dalam barisan pembela Islam setelah sebelumnya mereka merupakan duri-duri yang mengganjal penyebaran misi dakwah Islam.
Dari semua ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pernikahan Rasulullah dengan Juwairiyah membawa kebaikan bagi Islam serta menambah kekuatan kaum muslimin dan memperbanyak personil pasukan pembela dakwah.
8. Ummu Habibah Binti Abu Sufyan Bin Harb
Namanya adalah Ramlah, beliau masuk Islam meskipun bapaknya tidak menyenangi hal itu. Kemudian ia hijrah ke Habasyah (Ethiopia) bersama suaminya (Ubaidillah bin Jahsy). Akan tetapi sesampainya di daerah hijrah, sang suami murtad dan memeluk agama Nashrani. Iapun menginginkan Isterinya mengikutinya dalam agama yang dianutnya, namun Ummu Habibah menolak ajakan suaminya itu sehingga suaminya meninggalkannya. Dan tak lama setelah itu, suaminya tersebut meninggal dunia.
Balasan apakah yang pantas dianugerahkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita yang memeluk Islam meski tidak disenangi oleh bapaknya? Sementara telah diketahui bahwa bapaknya (Abu Sufyan) adalah musuh Rasulullah yang paling keras serta terkuat di antara musuh-musuhnya yang lain.
Balasan apakah yang pantas dianugerahkan kepada seorang wanita yang pernah melakukan hijrah dari Makkah ke negeri Habasyah (Ethiopia) demi untuk menyelamatkan keislamannya, rela menghadapi segala derita dan kesusahan di negeri asing, siap menantang bahaya serta segala kesulitan hidup hanya karena menjaga dan membela agamanya?
Kemudian balasan apakah yang pantas dipersembahkan kepada seorang wanita yang suaminya murtad dan memeluk agama nashrani, sedang keduanya berada di negeri asing, dimana sang suami menginginkan pula darinya untuk mengikutinya dalam agama tersebut namun beliau menolaknya. Dan akhirnya sang meninggalkannya tanpa ada yang menjadi tumpuan hidupnya?
Tak ada jasa terbaik yang dapat dianugerahkan oleh Rasulullah untuk menghargai perjuangannya serta menjaga kehormatannya selain menikahinya, dimana saat itu beliau masih berada di Habasyah yakni sekitar tahun keenam atau ketujuh hijriyah. Hal itu adalah untuk menyelamatkannya dari kesulitan dalam keterasingan, kesendirian dan kemiskinan. Semoga dengan perkawinan itu pula dapat membujuk dan melunakkan hati bapaknya yang saat itu merupakan salah seorang tokoh syirik serta musuh Islam yang paling keras.
Ummu Habibah akhirnya kembali dari tempat hijrahnya bersama Khalid bin Sa’id pada tahun dicapainya perjanjian perdamaian antara kaum muslimin dengan kaum musryikin Makkah, dan pada tahun itu pula pula merupakan tahun penaklukan Khaibar.
9. Zainab Binti Jahsy Bin Ri’ab
Nasab Zainab binti Jahsy bin Ri’ab berakhir pada Asad bin Khuzaimah.
Beliau adalah puteri bibi Rasulullah yang bernama Amimah binti Abdul Muthalib.
Pernikahan Rasulullah dengan Zainab memiliki kisah tersendiri yang banyak dikaburkan oleh mereka yang tidak teliti serta berhati-hati dalam menukil sejarah, dimana kesalahan itu tidak dapat diterima oleh kenyataan yang ada dan sangat jauh dari kejadian yang sebenarnya. Namun kemudian sebagian musuh-musuh Islam memanfaatkan pengaburan tersebut lalu membesar-besarkannya, sebagai upaya untuk menaburkan debu dan kotoran terhadap kesucian Rasulullah. Seakan-akan mereka lupa atau tidak mengetahui bahwa debu yang mereka taburkan itu sama sekali tidak akan melewati kaki-kaki mereka yang menerbangkannya, lalu bagaimana mungkin debu itu akan mencapai bintang nan tinggi di langit sana?
Kaum munafik berusaha untuk menebar kebatilan sekitar pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy. Namun yang lebih mengherankan dari hal itu adalah perbuatan sebagian kaum muslimin yang ikut-ikutan mencatat serta menyebarkan kebatilan tersebut.
Sebagai contoh perkataan mereka yang menyatakan bahwa suatu ketika Nabi datang berkunjung ke rumah Zaid bin Haritsah (suami Zainab binti Jahsy saat itu), akan tetapi beliau tidak menemukan Zaid di rumahnya. Dan Zainab mempersilahkan Nabi untuk masuk namun beliau menolaknya. Kemudian beliau membalikkan badannya untuk kembali seraya mengucapkan beberapa kalimat yang tidak begitu jelas terdengar oleh Zainab kecuali perkataan beliau, “Subhaanallahil’azhiim, Subhaana Musharrifulquluub.” Maha Suci Allah Yang Maha Agung, Maha Suci Dzat Yang membolak balikkan hati).
Ketika Zaid bin Haritsah kembali ke rumahnya, Zainab menceritakan hal itu kepadanya. Maka saat itu pula Zaid pergi menemui Nabi dan berkata, Wahai Rasulullah, sungguh telah sampai berita kepadaku bahwa anda datang ke rumahku, maka alangkah baiknya jika Anda masuk ke rumah itu. Siapa tahu anda bisa tertarik pada Zainab, niscaya aku akan menceraikannya untukmu.” Rasulullah bersabda kepada Zaid,” Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah.”
Akan tetapi pada akhirnya Zaid tidak dapat mempertahankan kelangsungan rumah tangganya dengan Zainab, sehingga pada akhirnya ia menceraikan Zainab. Dan setelah masa iddahnya berakhir, maka Rasulullah menikahi Zainab.
Versi lain dari cerita-cerita seperti di atas dikatakan ; bahwasannya Nabi mendatangi rumah Zaid, lalu beliau melihat Zainab sedang duduk di tengah kamarnya sedang berdandan memakai parfum. Dan pada saat Nabi memandanginya, Nabi mengucapkan kalimat, “Maha Suci Dzat pencipta cahaya, Maha berkah Allah yang telah memperindah ciptaan-Nya.”Setelah itu beliau pulanng.
Pada saat Zaid bin Haritsah kembali ke rumahnya, Zainab menceritakan hal itu kepadanya. Maka Zaid berkata kepada Zainab , “Barangkali engkau telah membuat hati Rasulullah merasa kagum, maka bagaimanakah pendapatmu jika aku menceraikanmu agar beliau dapat menikahimu?” Zainab menjawab, “ Aku khawatir, engkau menceraikanku sementara beliau tidak juga mengawiniku.”
Zaid mendatangi Rasulullah dan berkata, “Aku bermaksud untuk menceraikan Zainab.” Maka beliau memberi jawaban kepada Zaid dengan perkataannya,” Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah.”
Berita-berita ini dan yang sepertinya, adalah sesuatu yang tidak pantas untuk disandarkan kepada Nabi serta wajib bagi kita untuk membentengi Nabi darinya.
Adapun hakikat dan kenyataan yang membantah serta menghapus kebatilan-kebatilan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Bahwasannya Zaid bin Haritsah Al Kabi adalah seorang yang menjadi tawanan pada masa Jahiliyah dan kemudian ia dibeli oleh Sayyidah binti Khuwailid. Lalu Khadijah menghibahkannya kepada Rasulullah. Maka beliau mengangkatnya sebagai anaknya sendiri (adobsi) ketika masih berada di Makkah, dan Zaid pada saat itu baru berusia delapan tahun.
b. Ketika Bapak si Zaid (yaitu Haritsah) mengetahui di mana anaknya berada, maka ia datang bertemu Nabi untuk membicarakan soal tebusan anaknya. Maka Nabi berkata kepadanya, “Kita serahkan kepada Zaid untuk menentukan pilihannya sendiri; jika ia memilih kamu, maka ia menjadi milik kamu. Namun jika ia memilihku, maka demi Allah, aku tidak akan rela menyerahkan seseorang yang lebih memilihku kepada siapapun.”
Zaid bin Haritsah mengenal bapaknya serta pamannya, akan tetapi ia lebih memilih untuk tetap tinggal bersama Rasulullah. Ketika Nabi melihat sikap Zaid tersebut, beliau membawa Zaid ke dekat Ka’bah lalu mengumumkan di depan khalayak ramai bahwa Zaid adalah anaknya, keduanya akan saling mewarisi. Melihat hal itu, perasaan bapak si Zaid menjadi tentram, dan demikian pula dengan perasaan pamannya.
Sejak saat itu, Zaid dikenal sebagai putera Muhammad, hingga agama Islam datang dan turunlah firman Allah, “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu)dengan (memakai)nama bapak-bapak mereka.” (Qs. Al Ahzaab : 5) Maka Zaid kembali dipanggil dengan nama Zaid bin Haritsah, sebagaimana semua anak angkat kembali dipanggil dengan nama-nama bapak-bapak mereka.
c. Kemudian Nabi mengetahui dari wahyu bahwasannya Zaid akan menikah dengan Zainab, namun kemudian Zaid akan menceraikannya. Setelah itu beliau akan menikahi Zainab demi untuk merombak serta menghapus kebiasaan yang berlaku pada bangsa arab, yaitu pengharaman bagi seseorang untuk menikahi wanita bekas isteri anak angkatnya.
Nabi meminang Zainab untuk dinikahkan dengan Zaid. Namun pinangan itu ditolak oleh Zainab beserta saudara laki-lakinya yang bernama Abdullah. Penolakan itu karena didasari oleh ketinggian status sosial Zainab serta garis keturunannya yang masih tergolong bangsawan Quraisy.
Atas dasar inilah sehingga turun firman Allah,

Dan tidakkah patut bagi laki-laki yang mumin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mumin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. Al Ahzab : 36)
Dengan turunya ayat ini, maka tidak ada lagi bagi Zainab beserta saudarannya suatu alas an menolak kehendak Rasulullah yang meminang Zainab untuk anak angkatnya sendiri Zaid bin Haritsah. Nabi membayar langsung mahar penikahan itu atas nama Zaid sebesar enam puluh dirham, sebuah baju kurung, sebuah selimut, sebuah baju besi, selembar sarung, lima puluh mud makanan dan tiga puluh sha’kurma.
d. Akan tetapi Zainab tidak mampu untuk menanggalkan gengsinya karena kemuliaan nasabnya. Seringkali beliau menampakkan sikapnya yang merasa lebih tinggi daripada Zaid yang kini tlah menjadi suaminya sendiri. Tak jarang pula ia menunjukkan keangkuhannya dan memperlakukan suaminya secara tidak pantas, serta selalu memperdengarkan kepada Zaid perkataan-perkataan yang menyakitkan hati. Hingga dalam sebagian riwayat dikatakan bahwa Zainab tidak memperkenankan bagi Zaid untuk menyentuh tubuhnya sebagaiman layaknya seorang suami menyentuh tubuh isterinya.
Suatu hari Zaid mendatangi Rasulullah untuk mengadukan Zainab seraya berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Zainab telah berlebihan dalam menyakiti hatiku dengan perkataannya, maka aku bermaksud untuk menceraikannya.” Maka Rasulullah bersabda kepadanya, “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah dalam menghadapi persoalannya dan janganlah engkau menceraikannya.”
e. Rasulullah telah mengetahui melalui perantaraan wahyu bahwa Zaid akan menceraikan Zainab, setelah itu Beliau akan menikahi mantan Isteri anak angkatnya itu. Sebab pernikahan ini bertujuan menetapkan syari’at Ilahi yang kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat bangsa arab, yakni pengharaman bagi seseorang untuk menikahi wanita mantan isteri anak angkatnya sendiri, yang mana sama keharamannya dengan menikahi mantan isteri anak kandung.
Pernikahan Nabi dengan Zainab berlangsung pada tahun kelima hijriyah. Ini adalah keteladanan yang dipraktekkan secara langsung untuk menghalalkan apa yang telah mereka haramkan atas diri-diri mereka, yang pada hakikatnya persoalan tersebut tidaklah haram.
Sementara itu tidak ditemukan adanya figure selain Nabi yang perbuatannya dapat dijadikan landasan untuk merombak dan menghapus suatu kebiasaan yang sangat memasyarakat seperti itu. Karena telah mendarah daging dalam I’tikad mereka sejak turun menurun, bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita mantan isteri anak angkatnya, sebagaimana halnya seseorang haram untuk menikahi mantan isteri anak kandungnya.
Keyakinan seperti ini telah dipraktekkan sejak zaman nenek moyang mereka. Sehingga menjadi suatu kemestian jika untuk merombak dan menghapuskannya butuh pada praktek langsung, dimana praktek ini mampu mencapai tingkat kekuatan dan kemasyuran sehingga dapat member jaminan mengalahkan keyakinan sebelumnya yang telah mengakar. Sekaligus dengan praktek langsung seperti ini akan mampu membuka lebar-lebar mata dan hati manusia terhadap ketetapan hokum yang baru tersebut.
Telah menjadi suatu kemestian bahwa Al Qur’an akan turun membatalkan keyakinan bangsa arab, sekaligus membebani Nabi untuk bertindak langsung dalam mempraktekkan hokum baru yang akan menghapus keyakinan lama dan telah menjadi adat kebiasaan.
Mungkin saja ada yang mempertanyakan, “Mengapa Al Qur’an yang mulia tidak turun langsung untuk menghapus aqidah mereka tanpa harus membebani Nabi untuk bertindak langsung sebagai pelaksana penghapusan keyakinan tersebut?”
Jawabanya untuk pertanyaan ini dikatakan, “Sesungguhnya keyakinan yang satu ini mempunyai kedudukan yang cukup penting dan sangat memasyarakat ditambah lagi posisinya yang telah mendapat tempat dihati mereka, maka tidak ada suatu cara yang dapat merubahnya kecuali dengan suatu ketetapan yang dipraktekkan secara langsung, dimana hal itu dibebankan kepada pembawa syari’at dan pelaksanaanya, yang merupakan figur teladan yang tertinggi, dan sosok tersebut tidak lain adalah Nabi.
Akan tetapi Nabi tidak langsung membeberkan apa yang diketahuinya dari wahyu baik kepada Zaid maupun kepada selain Zaid, karena beliau khawatir terhadap cercaan dan cemoohan manusia, serta adanya rasa malu akan perkataan mereka bahwa Muhammad menikahi mantan isteri anaknya sendiri.
Oleh sebab itu, Allah menegur Nabi-Nya agar tidak menyembunyikan di dalam dirinya apa yang diketahuinyamelalui perantara wahyu, serta tidak pantas baginya untuk takut terhadap manusia. Karena Allah-lah yang pantas untuk ditakuti dalam segala persoalan. Hendaklah Nabi melaksanakan apa yang diperbolehkan oleh Allah baginya serta diizinkan oleh-Nya untuk dilakukan. Dan yang sangat baik baginya pada saat Zaid mengadukan perihal Zainab adalah berdiam diri atau menyerahkan keputusan akhir tentang urusan Zainab pada Zaid sendiri.
Inilah makna firman Allah,

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nimat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nimat kepadanya: Tahanlah terus isterimu dan bertaqwalah kepada Allah, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), Kami nikahkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mumin untuk (menikahi) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al Ahzab : 37)
Kemudian setelah teguran, disebutkan ketetapan yang sebenarnya, yaitu bahwasannya tidak ada celaan dan kecaman bagi Nabi dalam melakukan apa yang dperintahkan oleh Allah kepadannya. Karena seperti ini pula Allah memerintahkan para Nabi yang terdahulu. Dan ketetapan Allah itu pasti akan terlaksana tanpa ada yang mampu menghalanginya.
Menyusul setelah ketetapan itu pula, disebutkan lagi teguran lain yang mencakup dalam firman Allah tersebut. Yaitu bahwasannya para Nabi yang telah diutus sebelumnya, yang meniti jalan Allah yang telah ditetapkan-Nya, mereka itu senantiasa menyampaikan risalah Allah dan hanya takut kepada-Nya saja, mereka tidak pernah merasa gentar kepada seorangpun. Sehingga mereka tidak pernah merasa keberatan untuk maju melakukan apa yang dibolehkan oleh Allah kepada mereka, berupa pernikahan yang dibolehkan maupun pernikahan yang tidak diperkenankan. Dan para Nabi itu, juga memiliki isteri-isteri yang terdiri dari wanita-wanita selir. Sehubungan dengan hal itu Allah berfirman, 
Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku, (QS. 33:38)

(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. 33:39)
Dengan pensyariatan yang langsung dipraktekkan ini, dmana Nabi telah menanggung langsung segala resikonya, Al Quran telah memutuskan hubungan (dari segi nasab) antara anak angkat dengan bapak angkatnya, serta menghapus ketetapan yang mengharamkan bagi bapak angkat untuk mengawini mantan isteri anak angkatnya. Al Quran telah menerangkan bahwa anak angkat tidak sama dengan anak kandung, meskipun telah menjadi kebiasaan bangsa arab untuk menisbatkan anak angkat tersebut kepada bapak angkatnya.
Lalu Al Quran bermaksud membuktikan kebatilan adat yang telah mengakar dalam masyarakat Arab saat itu, maka Al Quran membuat untuk mereka dua perumpamaan yang dapat diketahui melalui indra manusia. Yang pertama bahwasannya Allah tidak pernah menciptakan dalam satu jasad dua hati sekaligus, sedangkan yang kedua adalah bahwasannya tidak pernah seorang wanita dijadikan sebagai ibu bagi seorang laki-laki dan sekaligus sebagai isteri baginya. Meskipun seorang dapat saja mengharamkan isterinya terhadap dirinya dengan perkataan, “Engkau bagiku adalah sama dengan punggung ibuku.”
Demikian pula seseorang tidak mungkin untuk menjadi anak bagi dua orang bapak sekaligus, salah satunya adalah bapaknya yang sesungguhnya sedang yang satunya lagi adalah bapak angkatnya. Akan tetapi seseorang hanyalah menjadi anak bagi seorang bapak saja, yaitu bapak yang telah menyebabkannya terlahir ke dunia, dan kepada bapak inilah hendaknya seorang anak dinisbatkan.
Seorang anak angkat tidak memilik hak waris atas bapak angkatnya dan demikian pula sebaliknya. Dan mantan isteri anak angakat tidaklah diharamkan untuk dinikahi oleh bapak angkatnya. Allah berfirman,

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (QS. 33:4)

Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 33:5)
Meskipun Zaid bin Haritsah beberapa waktu lamanya dikenal sebagai putera Muhammad, namun sesungguhnya kondisi tersebut sebagai tidak mampu untuk mengubah nasabnya yang sesungguhnya yang wajib untuk dinisbatkan kepadanya, karena bapaknya yang sebenarnya adalah Haritsah bin Zaid.
Allah berfirman,

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 33:40)
Pernikahan Muhammad dengan Zainab ini juga memiliki tendensi tersendiri, yakni sebagai balasan atas ketundukkannya terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, serta kesediaannya untuk menikah dengan Zaid yang mantan budak, sementara keturunan Zainab adalah yang terhormat dalam kalangan masyarakat Quraisy. Dan telah diketahui bahwa masyarakat di mana kejadian ini berlangsung adalah suatu masyarakat yang sangat menjunjung tinggi masalah keturunan, hingga pada batas yang melewati kewajaran.
f. Satuhal yang menjadi kemestian bagi mereka yang menggembor-gemborkan serta membenarkan kebatilan sekitar kisah pernikahan Nabi dengan Zainab binti Jahsy, adalah mengajukan kepada diri mereka sendiri pertanyaan berikut ini :
Apakah dulunya Nabi tidak mengenal Zainab?atau beliau mengenalnya namun tidak mengetahui kecantikan yang dimiliki oleh Zainab?
Padahal perlu dicatat bahwa Zainab adalah puteri bibinya, dan beliau pula yang melamar Zainab untuk Zaid, bahkan Nabi sendirilah yang telah memaksa Zainab agar rela menerima pernikahan dengan Zaid.
Jika demikian, mengapa beliau mengawinkan Zainab kepada Zaid dan bukan beliau sendiri yang menikahi Zainab? Semantara jika beliau benar-benar menginginkan untuk menikah dengan Zainab, niscaya beliau akan dapat merealisasikannya tanpa ada hambatan sedikitpun.
Dan manakah yang lebih utama bagi Nabi, menikahi puteri bibinya sejak awalnya, dimana ia masih dalam keadaan perawan ataukah justru menikah setelah Zainab menjanda dari mantan budaknya?
Apakah merupakan hal yang dapat diterima oleh akal; Nabi merasa berat untuk melaksanakan penikahan yang mau membeberkan masalah itu karena merasa takut terhadap (cemoohan) orang-orang, dan pada waktu yang sama beliau tidak merasa berat jika manusia mengatakan bahwa beliau tergoda oleh kecantikan isteri seorang mantan budaknya, lalu beliau menikahinya setelah diceraikan oleh suaminya?
Sejak kapankah Nabi sebagai pengibar panji risalah yang agung, membiarkan hatinya kosong sehingga sempat tertawan oleh kecantikan wanita?
g. Kini tak ada lagi satupun celah bagi syubhat apapun terhadap pernikahan yang berdasarkan pada perintah Allah, demi untuk menghalalkan wanita yang mereka haramkan atas diri-diri mereka. Serta menetapkan untuk mereka suatu undang-undang yang mereka tetapkan.
Sesungguhnya ayat-ayat Al Quran yang mulia semuanya mengabarkan kejadian ini penuh keterbukaan tanpa ada usaha menyembunyikannya. Al Quran menyingkap pula tujuan pernikahan ini dengan suatu keterangan yang mampu untuk menolak segala cerita yang dikisahkan oleh para ahli cerita dan mereka yang sembrono, dan seterusnya dibesar-besarkan oleh musuh-musuh Islam.
10. Shafiyah Binti Huyay Bin Akhthab, Pemimpin Bani Nadhir.
Seorang wanita berkebangsaan Yahudi, sebelumnya pernah bersuamikan dua orang pria Yahudi, suaminya yang pertama adalah Salam bin Misykam, sedangkan suaminya yang kedua adalah Kinanah bin Ar-Rabi’ bin Abu Al Haqiq.
Beliau tertawan bersama tawanan perang Khaibar pada tahun ketujuh hijriyah, lalu Dihyah Al Kalbi meminta kepada Rasulullah agar memberikan kepadanya seorang budak wanita di antara wanita-wanita yang tertawan. Maka Rasulullah bersabda kepada Dihyah, “Pergilah dan silahkan pilih salah satu dari mereka yang engkau sukai.” Dan Dihyah memilih Shafiyah.
Saat itu para sahabat datang kepada Rasulullah, sesungguhnya Shafiyah itu adalah puteri pemimpin bani Quraizhah dan bani Nadhir, maka tidak ada yang pantas memilikinya selain anda.”
Maka Nabi bersabda kepada Dhihyah Radhiyallahu Anhu,”Ambillah wanita yang lain di antara wanita-wanita tawanan itu.”
Setelah itu Nabi memberi pilihan kepada Shafiyah antara dipulangkan ketengah kaumnya ataukah ia dimerdekakan kemudian dinikahi oleh Nabi. Teryata Shafiyah lebih memilih untuk menikah dengan beliau.
Konon sebelum kejadian itu, Shafiyah (pada saat masih berstatus sebagai isteri Kinanah) pernah bermimpi melihat bulan jatuh di kakinya. Lalu beliau menceritakan mimpinya itu kepada suaminya (Kinanah), maka suaminya berkata, “Tidak ada makna lain dari mimpi ini kecuali bahwasannya engkau mengharap untuk menjadi isteri bagi penguasa Hijaz yakni Muhammad.” Kemudian kinanah menampar muka Shafiyah hingga kedua matanya nampak memar kebiru-biruan.
Ketika para sahabat mempersembahkan Shafiyah kehadapan Rasulullah, beliau melihat bekas kebiru-biruan di kedua matanya, Nabi menanyakan kepadanya perihal memar di kedua matanya itu. Lalu Shafiyah menceritakan kejadian tersebut.
Apakah letak kesalahannya jika Nabi memasukkan dalam pemeliharaan dan penjagaannya seorang wanita tawanan perang, sedangkan ia adalah puteri dari seorang pemimpin kaumnya?
Apabila Shafiyah jatuh ketangan laki-laki selain Nabi, niscaya sepanjang hidupnya ia akan merasakan kepahitan,kehinaan serta status sosial yang rendah. Cukuplah untuk membuktikan hal ini; peristiwa yang pernah terjadi dimana pada suatu hari Rasulullah masuk ke kamar Shafiyah, namun beliau menemukan Shafiyah sedang menangis, maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Apakah yang menyebabkan anda menangis?” Shafiyah menjawab, “Telah sampai berita kepadaku, bahwasanya Aisyah dan Hafshah telah merendahkanku, keduanya mengatakan,”Kita ini lebih baik daripada Shafiyah, karena sesungguhnya kita adalah puteri paman Rasulullah, dan sekaligus isteri beliau.” Nabi berkata kepada Shafiyah, “Mengapa anda tidak mengatakan kepada keduanya, “Bagaimana mungkin kalian berdua lebih baik daripada aku, sedangkan bapakku adalah Nabi Harun, pamanku adalah Nabi Musa, dan suamiku adalah Muhammad?”
Kesalahan apa pula yang dilakukan oleh nabi ketika beliau menikahi seorang wanita yang berada dalam tawanan, dimana sebelumnya beliau telah memberikan pilihan kepada wanita itu antara dikembalikan kepada kaumnya atau dimerdekakan dan kemudian dinikahinya. Namun wanita itu lebih memilih untuk dinikahi oleh Nabi ketimbang dikembalikan ketengah kaumnya? Dan Shafiyan adalah seorang wanita yang terkenal memiliki hikmah, kecerdasan serta kedermawanan.
11. Maimunah Binti Al Harits Bin Hazn Al Hilaliyah.
Wanita yang satu ini memiliki hubungan kekerabatan dengan mayoritas pemuka-pemuka bangsa arab. Beliau memiliki saudara-saudara perempuan kandung; mereka adalah : Ummu Fadhl Lubabah Al Kubra, beliau adalah isteri Al Abbas bin Abdul Muthalib (Paman Nabi). Lubabah As Shugra, beliau adalah isteri Al Walid bin Mughirah, dan juga merupakan ibu kandung Khalib bin Walid. Dan Asma’, beliau adalah isteri Ubay bin Khalaf Al Jumahiy. Serta Azzah, isteri Ziyadah bin Abullah Al Jumahiy.
Beliau memiliki pula saudara-saudara perempuan dari pihak ibu, mereka adalah Asma binti Umais, beliau adalah isteri Ja’far bin Abu Thalib. Salma binti Umais, beliau adalah isteri Hamzah bin Abdul Muthalib. Dan Salamah binti Umais, beliau adalah isteri Abdul Malik bin Ka’ab bin Munabbih Al Khats’amiy.
Lalu apakah sebab yang menjadi latar belakang sehingga Nabi menikahinya?
Suaminya yang kedua meninggal dunia, lalu Abbas bin Abdul Muthalib menemui Nabi (pada saat beliau sedang melakukan Umrah Al Qadha’) seraya berkata, “Wahai Rasululah, sesungguhnya Maimunah binti Al Harits telah menjadi janda, maka apakah anda berkenan untuk menikahinya?” Rasulullah menerima tawaran itu.
Dalam riwayat versi lain diberitakan bahwasannya pada saat Nabi selesai menaklukkan Khaibar, beliau bergerak menuju ke Makkah untuk melaksanakan Umrah Al Qadha’. Peristiwa itu berlangsung pada tahun ketujuh hijriyah. Pada saat itu pula Ja’far bin Abu Thalib kembali dari hijrah di habasyah (Ethiopia).
Kemudian Ja’far meminang Maimunah binti Al Harits untuk menjadi isteri bagi Rasulullah. Tindakan Ja’far tersebut mendapat respon positif dari Nabi, lalu beliau menyerahkan kepengurusannya kepada Abbas dan akhirnya Nabi menikahi Maimunah.
Sebelum kita meneruskan pembahasan ini, perlu sekali bagi kita untuk memperhatikan dengan baik beberapa perkara yang erat kaitannya dengan pernikahan ini :
1. Salah seorang saudara perempuan kandung Maimunah adalah isteri bagi Abbas bin Abdul Muthalib (Yakni paman Nabi). Sedangkan salah seorang saudara perempuan beliau dari pihak ibu adalah isteri Ja’far bin Abu Thalib, yang satunya adalah isteri Hamzah bin Abdul Muthalib yang juga merupakan paman Nabi. Dan ketiga orang itu; yaitu Abbas, Ja’far dan Hamzah adalah orang-orang yang sangat dekat dengan beliau, serta merupakan orang-orang yang sangat dicintainya. Mereka pula adalah orang-orang yang sangat royal kepada Nabi serta kepada agama Islam.
2. Bahwasannya Abbas bin Abdul Muthalib (sebagai paman Nabi0 telah menawarkan Maimunah kepada Nabi. Kedua orang itu mengingingkan kemuliaan bagi Maimunah dan sekaligus kemuliaan bagi keduannya. Dan sikap penghargaan, kecintaan dan kesetiaan yang dimiliki oleh Nabi dalam suatu persahabatan, tidak memungkinkan baginya untuk menolak tawaran penikahan yang diajukan oleh kedua orang itu.
3. Saudara-saudara perempuan Maimunah baik saudara kandung maupun saudara tiri, adalah isteri bagi para pemuka dan pemimpin. Dan merupakan suatu hal yang baik bagi Islam untuk menyamai mereka dengan sebab ikatan pernikahan ini.
4. Bahwasannya Maimunah binti Al Harits bukanlah tipe wanita yang memiliki daya tarik bagi laki-laki, karena beliau adalah seorang wanita tua yang telah menjanda sebanyak dua kali.
5. Dialah yang pernah menghibahkan dirinya untuk Nabi, dan berkenaan dengan beliaulah Firman Allah yang berbunyi,

“ Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu berikan maskawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu,anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mumin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau menikahinya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mumin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al Ahzab :50)
Bukan merupakan kebiasaan Nabi, sebagai figur yang memiliki jiwa mulia lagi dermawan untuk menolak keinginan dua orang kesayangannya, yaitu pamannya Abbas bin Abdul Muthalib dengan saudara sepupunya Ja’far bin Abu Thalib. Juga bukanlah tipe Nabi untuk mengecewakan seorang wanita yang telah menghibahkan dirinya untuk Nabi.
Pernikahan ini bukanlah untuk memupus harapan bagi kekuatan Islam dan kaum muslimin. Maka Nabi mengawininya, yang pada saat itu bernama Barrah, lalu oleh Nabi diubah menjadi Maimunah.
12. Mariyah Al Qibthiyah.
Suatu ketika Nabi mengutus Hathib bin Abu Balta’ah dengan sebuah surat yang ditujukan kepada Al Muqauqis, seorang penguasa di negeri Iskandaria dan Mesir. Pengutusan itu sendiri bertepatan dengan tahun keenam hijriyah. Adapun maksud pengutusan dan surat tersebut adalah untuk mengajak penguasa itu agar mau menerima agama Islam.
Sang penguasa menyambut duta Nabi serta menerima surat yang dikirimkan itu dengan sangat baik. Lalu beliau mengirimkan untuk Nabi berbagai macam hadiah, di antaranya adalah Mariyah Al Qibthiyah, bersama saudara perempuannya yang bernama Sirin Wakhashi yang biasa dipanggil dengan nama Al Ma’bur. Dan dalam sebagian sumber dikatakan bahwa bersama hadiah tersebut terdapat empat orang wanita.
Kemudian Nabi memberikan Sirin kepada Hasan bin Tsabit, lalu Sirin melahirkan untuk Hasan seorang anak yang diberi nama Abdurrahman. Sementara Nabi sendiri menikahi Mariyah yang pada akhirnya melahirkan seorang anak yang diberi nama Ibrahim.
Apakah lagi yang mesti dijelaskan dalam masalah ini selain hal tersebut? Pantaskah bagi Nabi untuk mengembalikan Mariyah yang telah dihadiahkan atas nama beliau?
Sesungguhnya Muqauqis telah menyambut duta Nabi serta surat yang beliau kirimkan dengan sambuatan baik, dan bukan hanya itu saja, bahkan penguasa tersebut mengirimkan kepada Nabi sejumlah hadiah. Sehingga sngatlah bijaksana bila hadiah itu diterima, dalam situasi dimana Nabi demikian giat untuk menyebarkan agama, menaklukkan berbagai negeri serta menarik simpati manusia secara umum dan menambah jumlah simpatisan dan pendukung.
Apakah termasuk sikap yang terpuji jika semua hadiah itu diserahkan oleh nNabi kepada orang lain sementara Muqauqis telah mengirimkannya khusus untuk beliau?
Andaikata beliau melakukan hal seperti ini, tentu beliau telah menyakiti hati Muqauqis serta Mariyah. Sebab perbuatan seperti ini adalah penolakkan terhadap hadiah serta menunjukkan sikap arogan (angkuh).
Sehingga tidak ada yang lebih baik bagi Nabi kecuali menikahi Mariyah, demi untuk menyenangkan hati Muqauqis sekaligus menyenangkan hati Mariyah sendiri.
Pernikahan ini juga praktek nyata terhadap hukum yang membolehkan bagi seorang muslim untuk menikahi wanita ahli kitab (wanita yang menganut agama Yahudi atau Nashrani). Dan dalam semua ini terdapat manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
4. Kemukakan 4 contoh Istri Nabi memiliki peran penting dalam dakwah Islam
dan satu Istri Nabi yang terpandai dan paling banyak meriwayatkan
(menceritakan) Hadist Nabi dengan berbagai Contohnya?
a. Empat contoh Istri Nabi memiliki peran penting dalam dakwah Islam.
· Bahwa isteri-isteri Nabi itulah yang telah menggambarkan kepada kita tentang akhlak beliau serta amalannya yang umumnya tidak bisa dilihat oleh orang lain selain isteri-isterinya.
· Isteri-isteri Nabi pula yang menjadi sumber dalam mengeluarkan hukum yang berhubungan dengan masalah kewanitaan yang sangat prinsip, dimana hal-hal seperti itu tidak dapat diketahui kecuali oleh wanita, dan tidak pula ada laki-laki yang mengetahui problema kaum wanita tersebut kecuali suami mereka sendiri. Sedangkan masalah masalah seperti ini berbeda-beda antara wanita yang satu dengan yang lainnya.
· Isteri-istert Nabi adalah periwayat-periwayat yang menukil hadits-hadits beliau yang mulia, khususnya hadits-hadits yang beliau ucapkan saat berada dirumah sehingga tidak dapat didengar oleh orang lain. Demikian pula sebagian daripada para isteri Nabi ada yang mengoreksi sejumlah hadits yang diriwayatkan oleh selain mereka.
· Sebagian daripada isteri-isteri ada yang menyumbangkan pemikirannya di bidang fikih serta pandangan-pandangan yang berhubungan dengan sebagian asbunnuzul (sebab-sebab turunya) ayat-ayat Al Qur’an yang mulia.
b. Isteri Nabi yang terpandai dan paling banyak meriwayatkan (menceritakan) hadist
Nabi adalah Aisyah binti Abu Bakar.
Contoh-contoh hadist yang diriwayatkan beliau adalah sebagai berikut :
1. Yang berhubungan dengan Amalan Nabi.
Abdullah bin Umar berpendapat tentang terlarangnya seorang yang lagi ihram untuk memakai harum-haruman sebelum ia memakai pakaian ihramnya. Setelah perkataan Abdullah itu sampai ke telinga Aisyah, maka ia berkata, “ Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahman, aku pernah memakaikan harum-haruman pada Rasulullah, lalu beliau berkeliling di antara isteri-isterinya, kemudian beliau telah berihram sementara harum-haruman masih semerbak di badannya.”
Dan Aisyah berkata, “Seakan-akan aku melihat kilapan harum-haruman di kepala Nabi saat beliau sedang ihram.”
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Qasim dari Aisyah, ia berkata, “Aku pernah memberikan harum-haruman kepada Rasulullah saat beliau akan ihram dan pada saat beliau tahallul, sebelum beliau thawaf di Ka’bah.” Riwayat seperti ini dinukil pula oleh Ibnu Abbasma.
Dan diriwayatkan dari Aisyah, beliau berkata, “Aku pernah menyisir rambut Rasulullah pada saat aku sedang haid.”
Diriwayatkan pula dari Aisyah, bahwasannya Rasulullah senang mendahulukan anggota badannya yang kanan pada saat menyisir serta ketika berwudhu.”
Dahulu Abu Hurairah berpendapat tentang batalnya puasa orang yang junub apabila telah masuk waktu subuh sementara ia belum bersuci. Kemudian Abu Hurairah meninggalkan pendapatnyaitu setelah sampai kepadanya hadist dari Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi biasa telah masuk waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub lalu beliau tetap berpuasa.”
Abdullah bin Umar juga berpendapat bahwa ciuman itu dapat membatalkan wudhu, lalu Sayyidah Aisyah mengoreksi pandangannya itu dengan perkataannya, “Rasulullah kadang mencium (isterinya) saat beliau berpuasa lalu tidak mengulangi wudhunya.”
Aisyah berkata pula, “Biasanya Rasulullah mencium salah seorang isterinya pada saat beliau sedang berpuasa. Dan siapakah di antara kamu yang mampu menahan dirinya, sebagaimana Rasulullah menahan dirinya.”
Ketika Adullah bin Umar ma menyatakan bahwa Rasulullah melakukan umrah sebanyak empat kali, dan salah satunya dilakukan di bulan Rajab. Maka Urwah bin Zubair berkata kepada Aisyah, “Tidakkah anda mendengar apa yang dikatakan oleh Abu Abdurrahman?” Aisyah berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Abdurrahan, tidaklah Rasulullah melakukan suatu umrah melainkan beliau (Ibnu Umar) bersamanya. Namun Rasulullah tidak pernah melakukan umrah di bulan Rajab.”
2. Yang berhubungan dengan Masalah Kewanitaan.
Telah sampai kepada Sayyidah Aisyah bahwasannya Abdullah bin Amr bin Ash, memerintahkan kepada para wanita agar jika mereka mandi junub, hendaklah mereka menguraikan rambut mereka. Maka Aisyah berkata, “Alangkah mengherankan perbuatan Abdullah bin Amr yang menyuruh wanita untuk menguraikan rambut ketika mandi junub. Kenapa beliau tidak memerintahkan saja kepada para wanita agar mencukur rambut mereka? Sungguh aku pernah mandi bersama Rasulullah dari satu bejana, dan aku tidaklah menambah kecuali menyiram ke atas kepalaku sebanyak tiga kali siraman.”
Dalam versi lain yang diriwayatkan oleh An-Nasa’I disebutkan suatu tambahan , “Dan aku tidak menguraikan rambutku.” Hadist ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya dengan riwayat yang lebih lengkap dari apa yang disebutkan ditempat ini.
Sayyidah Aisyah berkata, “Aku pernah keluar bersama Rasulullah untuk melakukan Haji, lalu akupun haid, dan aku menangis karenanya. Maka Rasulullah bersabda, “Lakukanlah segala perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan haji, hanya saja janganlah engkau thawaf di Ka’bah melainkan jika engkau telah suci.”
Sayyidah Aisyah menyebutkan pula bahwa Asma’ binti Yasid Al Anshariyah datang kepada Rasulullah dan berkata,”Bagaimana caranya aku mandi (bersuci) dari pada haid?” Rasulullah bersabda, “Ambilah kapas yang telah diberi minyak wangi lalu berwudhulah.” Namun Asma senantiasa mengulang-ulang pertanyaannya, dan Rasulullah mengulang sabdanya tersebut hingga tiga kali. Dan pada setiap jawabannya itu beliau berucap, “Subhanallah.” Nabi merasa malu (untuk mengatakan secara transparan) lalu memalingkan mukanya. Akhirnya aku memegang dan menarik Asma’ dan aku terangkan kepadanya apa yang dimaksudkan oleh Rasulullah.”
3. Yang berhubungan dengan Periwayatan Hadist.
Aisyah berkata, “Jika seorang istri menginfakkan makanan yang ada di rumahnya tanpa menimbulkan efek yang tidak baik, maka isteri itu memperoleh pahala atas perbuatannya yang telah menginfakkan, dan bagi suaminya pahala atas perbuatannya mencari nafkah, sedang bagi pemegang kunci pahala yang serupa dengan itu, pahala sebagian mereka tidak mengurangi pahala sebagian yang lain sedikit pun.”
4Yang berhubungan dengan Pengoreksian hadist.
Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Dzarr, bahwasanya Nabi bersabda, “Jika seseorang melakukan shalat dan tidak ada dihadapannya suatu (Tabir) setinggi pelana, maka shalatnya akan diputuskan oleh anjing, wanita dan himar.”
Lalu sebagian sahabat menerima makna lahir (Zhahir) hadist ini, seperti Abdullah bin Umar. Sedangkan sebagian sahabat ada pula yang tidak menerima makna Zhahir hadist ini.
Akan tetapi Aisyah mengingkari jika shalat dapat diputuskan oleh salah satu ketiga macam yang disebutkan dalam hadist di atas. Beliau juga marah atas penyamaan antara wanita, anjing dan himar. Beliau berkata, “apakah kamu menyamakan kami dengan anjing dan himar? Sesungguhnya aku pernah berbaring di atas tempat tidur, lalu Nabi datang dan berdiri tepat ditengah pembaringan itu kemudian beliau shalat. Kemudian aku tidak suka untuk menghadapkan badanku kepadanya saat beliau sedang shalat, maka aku melorot pelan-pelan kebagian kaki tempat tidur hingga aku berhasil keluar dari selimut yang kupakai.”
Abdullah bin Abbas menyetujui pandangan yang di kemukakan oleh Aisyah tersebut. Hal ini memberikan indikasi kepada kita, bahwasannya beliau tidak yakin jika hal itu di ucapkan oleh Rasulullah. Sebab jika beliau berkeyakinan bahwa hal itu diucapkan oleh Rasulullah maka tentu tidak akan diingkarinya.”
Telah diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Asma binti Abu Bakar, dan Abdullah bin Amr serta Aisyah, bahwasanya Nabi bersabda, “Allah melaknat Al Washilah dan Al Mustaushilah.”
Mayoritas sahabat serta selain mereka memahami bahwa yang dimaksud dengan Al Washilah adalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut yang lain, sedangkan yang dimaksud dengan Al Mustaushilah adalah wanita yang minta untuk disambungkan rambutnya. Dan mereka mengatakan bahwasannya Mu’awiyah pernah berkhutbah pada tahun beliau menunaikan haji , dimana beliau menggenggam segenggam rambut yang diambilnya dari tangan seorang yang bernama Harasiy. Mu’waiyah berkata, “Aku mengira bahwa tidak ada yang melakukan hal itu kecuali kaum Yahudi. Dimanakah ulama kamu? Aku pernah mendengar Rasulullah melarang hal seperti ini.”
Kemudian Ibnu Hajar mengomentari hadist tersebut, dan di antara komentar tersebut adalah, bahwa mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa yang terlarang dari perbuatan itu adalah menyambung rambut dengan rambutpula. Sedangkan apabila seorang wanita menyambung rambutnya dengan dengan yang berasal dari selain rambut seperti potongan kain atau yang sepertinya tidaklah masuk dalam lingkup larangan tersebut. Sementara di dalam sebuah hadist yang shahih disebutkan bahwasannya tidak mengapa menyambung dengan menggunakan qaramil, demikianlah pandangan yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal. Dan yang dimaksud qaramil di dalam hadist ini adalah pita yang terbuat dari sutera atau wol yang biasa dipergunakan oleh wanita untuk menyambung rambutnya.
Kemudian di akhir komentarnya terhadap hadist tersebut, Ibnu Hajar menyatakan bahwa sayyidah Aisyah memberi keringanan bagi seorang wanita untuk menyambung rambutnya dengan rambut yang lain, dan bahwasannya beliau menafsirkan Al Washilah dan Al Musthaushilah dengan makna yang lain. Aisyah berkata, “Al Washilah adalah wanita yang melacur di masa mudanya dan setelah ia memasuki usia tua sebagai pemandu perbuatan zina (mucikaria).” Namun Ibnu hajar menyebutkan bahwa Imam Ath-Thabari melemahkan hadist Aisyah tersebut dalam sebuah riwayat yang disebutkan dari beliau sehubungan dengan pandangannya yang tidak memperbolehkan seorang wanita menyambung rambutnya.
Kemudian pendapat Aisyah yang mengatakan bolehnya bagi seorang wanita untuk menyambung rambutnya adalah perbuatan menyambung rambut yang tidak ada unsur penipuan bagi laki-laki yang ingin meminang misalnya, itulah yang selaras dengan jiwa kewanitaan dan sesuai dengan tujuan untuk mempercantik diri yang dibolehkan, serta tidaklah bertentangan dengan fleksibilitas agama Islam. Adapun tafsiran beliau terhadap Al Wahilah dan Al Mustaushilah maka yang seperti itulah yang pantas dilaknat.
Oleh sebab itu disebutkan oleh Ibnu Qutaibah, bahwasannya Aisyah berkata, “Tidak mengapa bagi seorang wanita untuk menyambung rambutnya, dan bukanlah makna Al Washilah dan Al Mustaushilah sama seperti yang kamu fahami (Yakni wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut yang lain agar kelihatan lebih panjang). Akan tetapi yang dimaksud dengan Al Washilah adalah wanita yang melacur dimasa mudanya, dan setelah ia memasuki usia tua maka ia meneruskan perbuatannya itu dengan bertindak sebagai pemandu perbuatan zina (Mucikari).
Suatu ketika Aisyah mengetahui Abdullah bin Umar mengatakan bahwasanya jumlah hari ini dalam sebulan adalah du puluh sembilan hari. Maka Aisyah mengingkari hal itu seraya berkata, “Semoga Allah mengampuniABu Abdurrahman, bukan demikian yang dikatakan oleh Rasulullah, akan tetapi yang diucapkan oleh beliau adalah bahwasannya sebulan itu kadang berjumlah dua puluh sembilan hari.
Dan pernah dikatakan kepada Aisyah bahwa Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Kesialan itu ada pada tiga perkara;pada rumah, wanita dan kuda.” Maka Aisyah berkata, “Abu Hurairah tidak hafal benar akan hadist itu, karena sesungguhnya saat itu Abu Hurairah baru saja hendak masuk menemui Rasulullah sedang beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan orang-orang yahudi, karena sesungguhnya mereka mengatakan kesialan itu ada pada tiga perkara;pada rumah, wanita dan kuda.” Abu Hurairah hanya mendengar bagian akhir hadist tapi tidak mendengar depannya.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnadnya suatu riwayat yang senada ini, kemudian beliau manambahkan bahwa Aisyah membaca firman Allah, “Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu seniiri meainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh)sebelum kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”(Qs. Al Hadiid : 22)
5. Yang behubungan dengan Fikih.
Abu Hurairah berpendapat bahwa orang yang memandikan jenazah hendaklah ia mandi pula, sedangkan orang yang membawa jenazah maka hendaklah ia berwudhu.
Ketika Aisyah mendengar perkataan Abu Hurairah tersebut maka beliau berkata, “Najiskah jenazah kaum muslimin? Dan apakah ada keharusan bagi seseorang jika ia membawa kayu (usungan).”
Aisyah berpandangan pula bahwa nikah mut’ah adalah haram, dan beliau melandasi perkataannya itu dengan firman Allah,
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.” (Qs. Al Mu’minuun : 5-6 ) Aisyah berkata, “Barang siapa yang mencari selain dari pada wanita yang telah dinikahkan oleh Allah atau yang dijadikan sebagai hamba sahayanya, maka sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tercela.”
Telah terjadi perselisihan di kalangan sahabat sehubungan dengan status hukum daging himar yang jinak, apakah dagingnya itu halal ataukah haram?
Adapun orang-orang yang berpendapat bahwa dagingnya adalah halal melandasi pandangan mereka dengan alasan bahwa Sayyidah Aisyah telah berhujah dengan firman Allah,
“Katakanlah, “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau daging babi karena -sesungguhnya semua itu adalah kotor- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi maha Penyayang.”(Qs. Al An’aam : 145). Karena sesungguhnya zhahir daripada ayat itu tidak mengharamkan selain apa yang disebutkan didalamnya.
Pandangan Aisyah ini telah disetujui oleh Abdullah bin Abbas namun di tidak setujui oleh selainnya.
Di antara fikih Aisyah adalah bahwasannya beliau berpandangan jika hewan korban mengalami cacat sebelum mencapai tempat penyembelihannya, maka wajib untuk disembelih lalu disingkirkan dari manusia, dan tidak boleh bagi pemilik hewan kurban itu untuk memakan dagingnya. Pandangan ini beliau landasi dengan sebuah hadist yang semakna dengan pendapatnya ini. Namun jika tidak ditemukan kaum fakir miskin diperjalanan menuju haji, maka apakah pemilik hewan kurban ini tetap tidak boleh dimakan oleh binatang buas, ataukah boleh baginya serta orang-orang yang bersamanya untuk memakan daging hewan itu karena akan mubadzir.
6. Yang berhubungandengan Asbabunnuzul.
Sebagai contoh kasus dalam masalah ini pada firman Allah,
“ Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Qs. An-Nissa : 3)
Sayyidah Aisyah berkata, “Yang dimaksud dengan perempuan yatim dalam ayat ini adalah perempuan yatim yang berada dalam pengasuhan walinya, dimana perempuan yatim ini bersekutu dengan walinya itu dalam harta. Lalu wali tersebut terpikat oleh kecantikannya serta oleh hartanya. Maka wali perempuan yatim itu ingin menikahinya, namun tidak mau memberikan mahar kepadanya sebagaimana layaknya mahar yang diberikan kepada wanita-wanita lain. Sehingga mereka dilarang menikahi perempuan-perempuan yatim seperti itu kecuali jika diberikan kepada mereka mahar secara penuh atau mahar yang paling mahal dalam ukuran wanita seperti mereka. Selanjutnya juka para wali itu keadaannya demikian, maka mereka diperintahkan untuk mengawini wanita-wanita yang mereka sukai selain dari perempuan-perempuan tersebut.
Contoh lain sehubungan dengan firman Allah,
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian lebih baik(bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabi’atnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isteri kamu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(Qs. An-Nisaa’ : 128)
Sayyidah Aisyah mengatakan bahwa ayat yang mulia ini turun sehubungan dengan seorang laki-laki yang beristerikan seorang wanita yang tidak begitu disenanginya, lalu laki-laki itu ingin menceraikannya. Laki-laki itu mengatakan, “Engkau aku bebaskan dari ikatan denganku.” Maka turunlah ayat ini.